BERBAGI ILMU DAN REZEKI
TUGAS MID
MATA KULIAH : BELAJAR DAN PEMBELAJARAN
SOSIOLOGI
KONDISI PENDIDIKAN DI INDOENSIA
“ALOKASI DANA BOS DAN MAHALNYA BIAYA PENDIDIKAN DI INDONESIA”
DI SUSUN OLEH :
NAMA : ARHAM NURHIDAYAT
NIM : 105380192410
KELA : V F
JURUSAN PENDIDIKAN SOSIOLOGI
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR
2012/2013
BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR
BELAKANG
Hingga
saat ini masalah pendidikan masih menjadi perhatian khusus oleh pemerintah.
Pasalnya Indeks Pembangunan Pendidikan Untuk Semua atau education for all (EFA)
di Indonesia menurun tiap tahunnya. Tahun 2011 Indonesia berada diperingkat 69
dari 127 negara dan merosot dibandingkan tahun 2010 yang berada pada posisi 65.
Indeks yang dikeluarkan pada tahun 2011 oleh UNESCO ini lebih rendah
dibandingkan Brunei Darussalam (34), serta terpaut empat peringkat dari
Malaysia (65).
Salah
satu penyebab rendahnya indeks pembangunan pendidikan di Indonesia adalah
tingginya jumlah anak putus sekolah. Sedikitnya setengah juta anak usia sekolah
dasar (SD) dan 200 ribu anak usia sekolah menengah pertama (SMP) tidak dapat
melanjutkan pendidikan. Data pendidikan tahun 2010 juga menyebutkan 1,3 juta
anak usia 7-15 tahun terancam putus sekolah. Bahkan laporan Departeman
Pendidikan dan Kebudayaan menunjukan bahwa setiap menit ada empat anak yang
putus sekolah.
Menurut
Staf Ahli Kemendikbud Prof. Dr. Kacung Marijan, Indonesia mengalami masalah
pendidikan yang komplek. Selain angka putus sekolah, pendidikan di Indonesia
juga menghadapi berbagai masalah lain, mulai dari buruknya infrastruktur hingga
kurangnya mutu guru. Masalah utama pendidikan di Indonesia adalah kualitas guru
yang masih rendah, kualitas kurikulum yang belum standar, dan kualitas
infrastruktur yang belum memadai.
B. RUMUSAN MASALAH
1)
Bagaimana bentuk karakteristik pendidikan
di Indonesia ?
2)
Bagaimana permasalahan pengelolaan dana
bos ?
3)
Bagaimana solusi permasalahan dana bos ?
4)
Bagaimana kondisi biaya pendidikan di
Indonesia ?
5)
Apa solusi permasalahan mahalnya biaya
pendidikan di Indonesia ?
C. TUJUAN PEMBAHASAN
1)
Memahami bentuk karakteristik pendidikan
di Indonesia.
2)
Mengetahui permasalahan pengelolaan dana
bos.
3)
Mengetahui solusi permasalahan dan bos.
4)
Memahami bagaiman kondisi biaya
pendidikan di Indonesia.
5)
Mengetahui solusi permasalahan mahalnya
biaya pendidikan di Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
A. KARAKTERISTIK
PENDIDIKAN DI INDONESIA
Pendidikan di Indonesia apabila merujuk pada Undang-Undang Dasar 1945
adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, meningkatkan iman dan akhlak mulia,
serta memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi. Idealnya pendidikan di
Indonesia adalah mengedepankan pembentukan sikap peserta didik agar siap untuk
belajar baru menguasai IPTEK.
Pola pendidikan di Indonesia juga diarahkan pada penanaman nilai-nilai
luhur pancasila yang meliputi ketuhanan, kemanusiaan, persatuan,
permusyawaratan, dan keadilan. Dengan konsentrasi pada penanaman nilai-nilai
tersebut diharapkan peserta didik mampu menghayati apa yang terkandung di dalam
pancasila dan mengaktualisasikanya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara baik
dalam ruang lingkup nasional maupun multinasional.
Pendidikan di Indonesia mencoba untuk menggunakan student center
learning atau pembelajaran berpusat pada siswa, sehingga menuntut siswa
untuk bergerak aktif dalam memperkaya sendiri ilmu pengetahuanya, sedangkan
posisi guru hanya sebagai fasilitator.
B.
ALOKASI DANA BOS
Latar Belakang
Dana BOS 3Bantuan Operasional Sekolah (BOS) merupakanpengembangan lebih lajut
dari Program JaringPengaman Sosial (JPS) Bidang Pendidikan, yangdilaksanakan
pemerintah pada kurun 1998-2003, dan Program Kompensasi PenguranganSubsidi BBM
yang dilaksanakan dalam kurun 2003-2005. BOS dimaksudkan sebagai subsidi
biayaoperasional sekolah kepada semua peserta didikwajib belajar, yang untuk
tahun 2009 jumlahnyamencapai 26.866.992 siswa sekolah dasar, yangdisalurkan
melalui satuan pendidikan.
v PERMASALAHAN
PENGELOLAAN BOS
Mulai
pertengahan 2010, kemendiknas mulai menggunakan mekanisme baru penyaluran dana
BOS. Dana BOS tidak lagi langsung ditransfer dari bendahara negara ke rekening
sekolah, tetapi ditransfer ke kas APBD selanjutnya ke rekening sekolah
Kemendiknas beralasan, mekanisme baru ini bertujuan untuk memberikan kewenangan
lebih besar kepada pemerintah daerah dalam penyaluran dana BOS. Dengan cara
ini, diharapkan pengelolaan menjadi lebih tepat waktu, tepat jumlah, dan tak
ada penyelewengan.
v PERMASALAHAN
PENGELOLAAN BOS
masalah utama
dana BOS terletak pada lambatnya penyaluran dan pengelolaan di tingkat sekolah
yang tidak transparan. Selama ini, keterlambatan transfer terjadi karena
berbagai faktor, seperti keterlambatan transfer oleh pemerintah pusat dan
lamanya keluar surat pengantar pencairan dana oleh tim manajer BOS daerah
§ Masalah-masalah
dalam program BOS.
1. Pengalokasian dana tidak didasarkan pada kebutuhan sekolah
tapi pada ketersediaan anggaran
2. Alokasi dana BOS ‘dipukul rata’ untuk semua sekolah di
semua daerah, pada tiap sekolah memiliki kebutuhan dan masalah berbeda
3. Korupsi dana pada tingkat pusat (Kemendiknas) terutama
berkaitan dengan dana safe guarding
4. Masalah-masalah Dinas pendidikan meminta sodokan atau
memaksa sekolah untuk membuat pengadaan barang kepada perusahaan tertentu yang
sudah ditunjuk dinas.
5. Kepala sekolah
menggunakan dana BOS untuk kepentingan pribadi melalui penggelapan, mark up,
atau mark down.
6. Uang yang
dikeluarkan oleh orang tua murid cenderung bertambah mahal walaupun sudah ada
dana BOS.
v SOLUSI
PERMASALAHAN DANA BOS
Peninjauan Kembali Kebijakan UUD 1945 menyatakan bahwa
pendidkan adalah hak bagi semua warga negara, terlebih pendidikan dasar untuk
wajib belajar Sembilan tahun menjadi hak utama bagi warga Negara dan Negara
wajib mengusahakan pembiayaannya. Ini menjadi amanat besar dan latar belakang
utama kenapa dana BOS hadir dalam proses pendidikan wajib belajar 9 tahun.
Namun pada kenyataannya tidak semua sekolah dan tidak semua warga Negara
membutuhkan dan harus diberi subsidi untuk pendidikan dasar ini, hal ini
terbukti dengan beberapa sekolah yang tidak menerima dana BOS, tapi tetap
menjual kualitas kepada customernya. Peninjauan kembali bukan berarti
penghapusan program, tapi pembaharuan design program BOS bisa menjadi solusi.
Bisa saja pemerintah mengatur kembali pendanaan untuk sekolah yang sudah maju
secara financial dan juga aturan yang khusus untuk warga Negara yang sudah
tidak layak untuk mendapatkan subsidi. Begitu penting juga menambah kuota BOS
untuk dinaikkan tingkat nya bukan hanya pada program Wajib Belajar 9 Tahun
tetapi menjadi 1-9 menjadi Hak Belajar (HAJAR) dan 10-12 menjadi Wajib Belajar
(WAJAR). Ini yang sedang kami upayakan di komisi X untuk memenuhi amanat
undang-undang sebagai hak warga negara memperoleh pendidikan. Jadi nantinya
tidak ada lagi orang tua murid yang berpikir untuk anak-anaknya tidak
menyelesaikan pendidikan sampai tingkat menengah.
C.
MAHALNYA BIAYA
PENDIDIKAN
Pendidikan bermutu itu mahal. Kalimat ini sering muncul untuk menjustifikasi mahalnya
biaya yang harus dikeluarkan masyarakat untuk mengenyam bangku pendidikan. Mahalnya biaya pendidikan
dari Taman Kanak-Kanak (TK) hingga Perguruan Tinggi (PT) membuat masyarakat
miskin tidak memiliki pilihan lain kecuali tidak bersekolah. Orang miskin tidak
boleh sekolah.
Untuk masuk TK dan SDN saja saat ini dibutuhkan biaya Rp 500.000, sampai Rp
1.000.000. Bahkan ada yang memungut di atas Rp 1 juta. Masuk SLTP/SLTA bisa
mencapai Rp 1 juta sampai Rp 5 juta.
Makin mahalnya biaya pendidikan sekarang
ini tidak lepas dari kebijakan pemerintah yang menerapkan MBS (Manajemen
Berbasis Sekolah). MBS di Indonesia pada realitanya lebih dimaknai sebagai
upaya untuk melakukan mobilisasi dana. Karena itu, Komite Sekolah/Dewan Pendidikan yang merupakan organ MBS selalu
disyaratkan adanya unsur pengusaha.
Asumsinya, pengusaha memiliki akses atas modal yang lebih luas. Hasilnya,
setelah Komite Sekolah terbentuk, segala pungutan uang selalu berkedok, “sesuai
keputusan Komite Sekolah”. Namun, pada tingkat implementasinya, ia tidak
transparan, karena yang dipilih menjadi pengurus dan anggota Komite Sekolah
adalah orang-orang dekat dengan Kepala Sekolah. Akibatnya, Komite Sekolah hanya
menjadi legitimator kebijakan Kepala Sekolah, dan MBS pun hanya menjadi
legitimasi dari pelepasan tanggung jawab negara terhadap permasalahan pendidikan
rakyatnya.
Kondisi ini akan lebih buruk dengan adanya RUU tentang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP). Berubahnya status pendidikan dari milik publik ke bentuk Badan Hukum
jelas memiliki konsekuensi ekonomis dan politis amat besar. Dengan perubahan
status itu Pemerintah secara mudah dapat melemparkan tanggung jawabnya atas pendidikan warganya kepada pemilik badan hukum yang
sosoknya tidak jelas. Perguruan Tinggi Negeri pun berubah menjadi Badan Hukum
Milik Negara (BHMN). Munculnya BHMN dan MBS adalah beberapa contoh kebijakan pendidikan yang kontroversial. BHMN sendiri
berdampak pada melambungnya biaya pendidikan
di beberapa Perguruan Tinggi favorit.
Privatisasi atau semakin melemahnya peran negara dalam sektor pelayanan
publik tak lepas dari tekanan utang dan kebijakan untuk memastikan pembayaran
utang. Utang luar negeri Indonesia sebesar 35-40 persen dari APBN setiap
tahunnya merupakan faktor pendorong privatisasi pendidikan.
Akibatnya, sektor yang menyerap pendanaan besar seperti pendidikan menjadi korban. Dana pendidikan
terpotong hingga tinggal 8 persen (Kompas, 10/5/2005).
Dari APBN 2005 hanya 5,82% yang dialokasikan untuk pendidikan.
Bandingkan dengan dana untuk membayar hutang yang menguras 25% belanja dalam
APBN (www.kau.or.id). Rencana Pemerintah memprivatisasi pendidikan dilegitimasi melalui sejumlah peraturan, seperti
Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, RUU
Badan Hukum Pendidikan, Rancangan Peraturan
Pemerintah (RPP) tentang Pendidikan Dasar dan
Menengah, dan RPP tentang Wajib Belajar. Penguatan pada privatisasi pendidikan itu, misalnya, terlihat dalam Pasal 53
(1) UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional (Sisdiknas). Dalam pasal itu disebutkan, penyelenggara dan/atau satuan
pendidikan formal yang didirikan oleh
Pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan.
Seperti halnya perusahaan, sekolah dibebaskan mencari modal untuk
diinvestasikan dalam operasional pendidikan.
Koordinator LSM Education Network for Justice (ENJ), Yanti Mukhtar (Republika,
10/5/2005) menilai bahwa dengan privatisasi pendidikan
berarti Pemerintah telah melegitimasi komersialisasi pendidikan
dengan menyerahkan tanggung jawab penyelenggaraan pendidikan
ke pasar. Dengan begitu, nantinya sekolah memiliki otonomi untuk menentukan
sendiri biaya penyelenggaraan pendidikan.
Sekolah tentu saja akan mematok biaya setinggi-tingginya untuk meningkatkan dan
mempertahankan mutu. Akibatnya, akses rakyat yang kurang mampu untuk menikmati pendidikan berkualitas akan terbatasi dan masyarakat
semakin terkotak-kotak berdasarkan status sosial, antara yang kaya dan miskin.
Hal senada dituturkan pengamat ekonomi Revrisond Bawsir. Menurut dia,
privatisasi pendidikan merupakan agenda
Kapitalisme global yang telah dirancang sejak lama oleh negara-negara donor
lewat Bank Dunia. Melalui Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP), Pemerintah berencana
memprivatisasi pendidikan. Semua satuan pendidikan kelak akan menjadi badan hukum pendidikan (BHP) yang wajib mencari sumber dananya
sendiri. Hal ini berlaku untuk seluruh sekolah negeri, dari SD hingga perguruan
tinggi.
Bagi masyarakat tertentu, beberapa PTN yang sekarang berubah status menjadi
Badan Hukum Milik Negara (BHMN) itu menjadi momok. Jika alasannya bahwa pendidikan bermutu itu harus mahal, maka argumen ini
hanya berlaku di Indonesia. Di Jerman, Prancis, Belanda, dan di beberapa negara
berkembang lainnya, banyak perguruan tinggi yang bermutu namun biaya
pendidikannya rendah. Bahkan beberapa negara ada yang menggratiskan biaya pendidikan.
Pendidikan berkualitas memang tidak mungkin murah, atau tepatnya, tidak harus murah
atau gratis. Tetapi persoalannya siapa yang seharusnya membayarnya?
Pemerintahlah sebenarnya yang berkewajiban untuk menjamin setiap warganya
memperoleh pendidikan dan menjamin akses
masyarakat bawah untuk mendapatkan pendidikan
bermutu. Akan tetapi, kenyataannya Pemerintah justru ingin berkilah dari
tanggung jawab. Padahal keterbatasan dana tidak dapat dijadikan alasan bagi
Pemerintah untuk cuci tangan.
v PENYEBAB
MAHALNYA BIAYA PENDIDIKAN
Pendidikan bermutu itu mahal. Kalimat ini sering muncul untuk
menjustifikasi mahalnya biaya yang harus dikeluarkan masyarakat untuk mengenyam
bangku pendidikan. Mahalnya biaya pendidikan dari Taman Kanak-Kanak (TK) hingga
Perguruan Tinggi (PT) membuat masyarakat miskin tidak memiliki pilihan lain
kecuali tidak bersekolah. Orang miskin tidak boleh sekolah. Untuk masuk TK dan
SDN saja saat ini dibutuhkan biaya Rp 500.000,- sampai Rp 1.000.000. Bahkan ada
yang memungut di atas Rp 1 juta. Masuk SLTP/SLTA bisa mencapai Rp 1 juta sampai
Rp 5 juta.
Makin mahalnya biaya pendidikan sekarang ini tidak lepas dari kebijakan
pemerintah yang menerapkan MBS (Manajemen Berbasis Sekolah). MBS di Indonesia
pada realitanya lebih dimaknai sebagai upaya untuk melakukan mobilisasi dana.
Karena itu, Komite Sekolah/Dewan Pendidikan yang merupakan organ MBS selalu
disyaratkan adanya unsur pengusaha.
Asumsinya, pengusaha memiliki akses atas modal yang lebih luas. Hasilnya,
setelah Komite Sekolah terbentuk, segala pungutan uang selalu berkedok,
"sesuai keputusan Komite Sekolah". Namun, pada tingkat
implementasinya, ia tidak transparan, karena yang dipilih menjadi pengurus dan
anggota Komite Sekolah adalah orang-orang dekat dengan Kepala Sekolah.
Akibatnya, Komite Sekolah hanya menjadi legitimator kebijakan Kepala Sekolah,
dan MBS pun hanya menjadi legitimasi dari pelepasan tanggung jawab negara
terhadap permasalahan pendidikan rakyatnya.
Kondisi ini akan lebih buruk dengan adanya RUU tentang Badan Hukum
Pendidikan (RUU BHP). Berubahnya status pendidikan dari milik publik ke bentuk
Badan Hukum jelas memiliki konsekuensi ekonomis dan politis amat besar. Dengan
perubahan status itu Pemerintah secara mudah dapat melemparkan tanggung
jawabnya atas pendidikan warganya kepada pemilik badan hukum yang sosoknya
tidak jelas. Perguruan Tinggi Negeri pun berubah menjadi Badan Hukum Milik
Negara (BHMN). Munculnya BHMN dan MBS adalah beberapa contoh kebijakan
pendidikan yang kontroversial. BHMN sendiri berdampak pada melambungnya biaya
pendidikan di beberapa Perguruan Tinggi favorit.
Privatisasi atau semakin melemahnya peran negara dalam sektor pelayanan
publik tak lepas dari tekanan utang dan kebijakan untuk memastikan pembayaran
utang. Utang luar negeri Indonesia sebesar 35-40 persen dari APBN setiap
tahunnya merupakan faktor pendorong privatisasi pendidikan. Akibatnya, sektor
yang menyerap pendanaan besar seperti pendidikan menjadi korban. Dana
pendidikan terpotong hingga tinggal 8 persen (Kompas, 10/5/2005).
Dari APBN 2005 hanya 5,82% yang dialokasikan untuk pendidikan. Bandingkan
dengan dana untuk membayar hutang yang menguras 25% belanja dalam APBN
(www.kau.or.id). Rencana Pemerintah memprivatisasi pendidikan dilegitimasi
melalui sejumlah peraturan, seperti Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional,
RUU Badan Hukum Pendidikan, Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang
Pendidikan Dasar dan Menengah, dan RPP tentang Wajib Belajar.
Penguatan pada privatisasi pendidikan itu, misalnya, terlihat dalam Pasal
53 (1) UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Dalam
pasal itu disebutkan, penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang
didirikan oleh Pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan.
Seperti halnya perusahaan, sekolah dibebaskan mencari modal untuk
diinvestasikan dalam operasional pendidikan. Koordinator LSM Education Network
for Justice (ENJ), Yanti Mukhtar (Republika, 10/5/2005) menilai bahwa dengan
privatisasi pendidikan berarti Pemerintah telah melegitimasi komersialisasi
pendidikan dengan menyerahkan tanggung jawab penyelenggaraan pendidikan ke
pasar. Dengan begitu, nantinya sekolah memiliki otonomi untuk menentukan
sendiri biaya penyelenggaraan pendidikan. Sekolah tentu saja akan mematok biaya
setinggi-tingginya untuk meningkatkan dan mempertahankan mutu. Akibatnya, akses
rakyat yang kurang mampu untuk menikmati pendidikan berkualitas akan terbatasi
dan masyarakat semakin terkotak-kotak berdasarkan status sosial, antara yang
kaya dan miskin.
v DAMPAK MAHALNYA
PENDIDIKAN
Secara umum,
dampak dari mahalnya biaya pendidikan adalah:
1.
Lemahnya Sumber Daya Manusia
Salah satu sektor strategis dalam usaha pengembangan Sumber Daya Manusia
(SDM) di Indonesia adalah sektor pendidikan. Sektor pendidikan ini memberikan
peran yang sangat besar dalam menentukan kualitas dan standar SDM di Indonesia
untuk membangun Indonesia yang lebih baik kedepannya. Sebagai salah satu entity
atau elemen yang terlibat secara langsung dalam dunia pendidikan, pelajar
merupakan pihak yang paling merasakan seluruh dampak dari perubahan yang
terjadi pada sektor pendidikan di Indonesia. Tak peduli apakah dampak tersebut
baik atau buruk.
Permasalahan yang ikut membawa dampak sangat besar pada pelajar adalah
permasalahan mengenai mahalnya biaya pendidikan di Indonesia. Permasalahan ini
dinilai sebagai permasalahan klasik yang terus muncul kepermukaan dan belum
selesai hingga sekarang. Padahal, tingginya biaya pendidikan saat ini tidak
sesuai dengan mutu atau kualitas serta output pendidikan itu sendiri. Kenyataan
tersebut dapat dilihat dari masih tingginya persentase pengangguran terdidik
(Sarjana) yaitu sekitar 1,1 juta orang (Data BPS - 2009). Penyebab banyaknya
pengangguran terdidik ini terlihat beragam dan menjadi semakin ironis jika
dilihat dari mahalnya seorang pelajar (terdidik) telah membayar uang kuliah
atau uang sekolah mereka.
2.
Lemahnya Taraf Ekonomi Masyarakat
Pendidikan memiliki daya dukung yang representatif atas pertumbuhan
ekonomi. Tyler mengungkapkan bahwa pendidikan dapat meningkatkan produktivitas
kerja seseorang, yang kemudia akanmeningkatakan pendapatannya. Peningkatan
pendapatan ini berpengaruh pula kepada pendapatan nasional negara yang
bersangkutan, untuk kemudian akan meningkatkan pendapatan dan taraf hidup
masyarakat berpendapatan rendah. Sementara itu Jones melihat pendidikan sebagai
alat untuk menyiapkan tenaga kerja terdidik dan terlatih yang sangat dibutuhkan
dalam pertumbuhan ekonomi suatu negara.
Jones melihat, bahwa pendidikan memiliki suatu kemampuan untuk menyiapkan
siswa menjadi tenaga kerja potensial, dan menjadi lebih siap latih dalam
pekerjaannya yang akan memacu tingkat produktivitas tenaga kerja, yang secara
langsung akan meningkatakan pendapatan nasional. Menurutnya, korelasi antara
pendidikan dengan pendapatan tampak lebih signifikan di negara yang sedang
membangun. Sementara itu Vaizey melihat pendidikan menjdi sumber utama
bakat-bakat terampil dan terlatih. Pendidikan memegang peran penting dalam
penyediddan tenaga kerja. Ini harus menjadi dasar untuk perencanaan pendidikan,
karena pranata ekonomi membutuhkan tenaga- tenaga terdidik dan terlatih.
Permasalahan yang dihadapai adalah jarang ada ekuivalensi yang kuat antara
pekerjaan dan pendidikan yang dibutuhkan yang mengakibatkan munculnya
pengangguran terdidik dant erlatih. Oleh karena itu, pendidikan perlu
mengantisipasi kebutuhan. Ia harus mampu memprediksi dan mengantisipasi
kualifikasi pengetahuan dan keterampilan tenaga kerja. Prediksi ketenagakerjaan
sebagai dasar dalam perencanaan pendidikan harus mengikuti pertumbuhan ekonomi
yang ada kaitannya dengan kebijaksanaan sosial ekonomi dari pemerintah.
3.
Kurangnya Kesadaran Masyarakat Akan Kesehatan
Semakin tinggi pendidikan seseorang, maka semakin sadar akan pentingnya
kesehatan. Pada jenjang pendidikan tinggi, peran pendidikan sangat sentral
dalam menghasilkan output-output yang akan berkontribusi untuk mentransformasikan
pengetahuan kepada masyarakat dalam meningkatkan kesadaran akan pentingnya
kesehatan bagi kesejahteraan bangsa Indonesia. Untuk mereflesikan dan
mengimplementasikan manajeman kesehatan yang berkualitas, saat ini telah banyak
pendidikan-pendidikan tinggi baik universitas maupun institusi yang telah
membuka program kesehatan seperti jurusan kedokteran, manajemen kesehatan,
keperawatan, dan sebagainya. Dengan adanya program seperti ini diharapkan
terlahir generasi-generasi baru yang paham dan memiliki kemampuan serta
kredibiolitas dalam menguapayakan penyelenggaraan kesehatan bagi masyarakat
Indonesia.
Selain itu, pendidikan tinggi diantaranya universitas merupakan pendidikan
tertinggi yang bertugas memberikan pengabdian kepada masyarakat dalam berbagai
bentuk yang bermanfaat. Dalam hal ini, jurusan dari berbagai pendidikan
kesehatan dalam melakukan program pengabdian masyarakat seperti pengobatan
gratis dan sebagainya yang ditujukan untuk memberikan pelayanan kesehatan dalam
membantu masyarakat yang membutuhkan mendapatkan pemeriksaan kesehatan.
v CARA MENGATASI
MAHALNYA BIAYA PENDIDIKAN
Besar dan kecilnya subsidi pemerintah itulah yang membuat mahal atau
murahnya biaya pendidikan yang harus dibayarkan oleh orang tua atau masyarakat.
Kalau kita ingin biaya pendidikan tidak mahal maka subsidi pemerintah harus
besar.Kecuali Jepang, Australia memiliki pengalaman bagus untuk membuat biaya
pendidikan tidak mahal bagi masyarakat. Dengan mengembangkan konsep CBE,
Community-Based Education, maka pemerintah melibatkan tokoh masyarakat, kaum
bisnis, pengusaha, dan kaum berduit lainnya dalam urusan pendidikan. Mereka
diminta membantu pemikiran, gagasan, dan dana untuk mengembangkan pendidikan
baik melalui komite sekolah (school committee), dewan pendidikan (board of
education), atau secara langsung berhubungan dengan pihak sekolah. Banyak hasil
yang dipetik dari program ini.
Usaha untuk menjadikan pendidikan tidak mahal untuk 'dikonsumsi' orang tua
dan masyarakat sebenarnya sudah dilaksanakan pemerintah Indonesia, baik dengan
meningkatkan subsidi maupun membangkitkan partisipasi masyarakat. Dalam Pasal
49 ayat (1) UU Sisdiknas disebutkan bahwa dana pendidikan selain gaji pendidik
dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20% dari APBN dan APBD.
Ketentuan semacam ini juga ada dalam Pasal 31 ayat (4) UUD 1945. Sayangnya,
pemerintah sendiri tidak konsisten dalam menjalankan ketentuan ini. Seandainya
saja ketentuan UU dan UUD tersebut direalisasi maka sebagian permasalahan
tentang mahalnya biaya pendidikan di negara kita tentu akan teratasi.
Usaha kedua yang sudah dicoba oleh pemerintah ialah membangkitkan peran
serta masyarakat melalui dewan pendidikan di tingkat kabupaten/kota dan komite
sekolah/madrasah di tingkat sekolah.
Dalam Pasal 56 ayat (2) dan (3) dijamin eksistensi dan perlunya dewan
pendidikan dan komite sekolah/madrasah untuk membantu sekolah, termasuk
mengatasi mahalnya pendidikan bagi rakyat banyak. Sekarang hampir di seluruh
kabupaten/kota dan provinsi sudah dibentuk lembaga yang disebut dewan pendidikan;
di samping komite sekolah/madrasah yang dibentuk pada banyak sekolah.
Sayangnya, banyak dewan pendidikan dan komite sekolah/madrasah yang tidak dapat
menjalankan fungsinya secara benar. Celakanya, banyak dewan pendidikan dan
komite sekolah/madrasah hanya menjadi aksesori saja. Lagi-lagi kita tidak
konsisten menjalankan konsep.
Sebenarnya kita sudah memiliki konsep yang bagus untuk mengatasi mahalnya
biaya pendidikan. Namun, karena kita tidak bisa menghilangkan penyakit 'tidak
konsisten', akhirnya biaya pendidikan kita pun tetap mahal bagi masyarakat
kebanyakan.
Sekarang hampir di seluruh kabupaten/kota dan provinsi sudah dibentuk
lembaga yang disebut dewan pendidikan; di samping komite sekolah/madrasah yang
dibentuk pada banyak sekolah. Sayangnya, banyak dewan pendidikan dan komite
sekolah/madrasah yang tidak dapat menjalankan fungsinya secara benar.
Celakanya, banyak dewan pendidikan dan komite sekolah/madrasah hanya menjadi
aksesori saja.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
v Karakteristik pendidikan
di Indonesia Pendidikan di
Indonesia mencoba untuk menggunakan student center learning atau
pembelajaran berpusat pada siswa, sehingga menuntut siswa untuk bergerak aktif
dalam memperkaya sendiri ilmu pengetahuanya, sedangkan posisi guru hanya sebagai
fasilitator.
v Alokasi dana
bos, Latar Belakang Dana BOS Bantuan
Operasional Sekolah (BOS) merupakanpengembangan lebih lajut dari Program
JaringPengaman Sosial (JPS) Bidang Pendidikan, yangdilaksanakan pemerintah pada
kurun 1998-2003, dan Program Kompensasi PenguranganSubsidi BBM yang
dilaksanakan dalam kurun 2003-2005.
v Mahalnya Biaya pendidikan Pendidikan bermutu itu mahal. Kalimat ini sering muncul untuk menjustifikasi mahalnya
biaya yang harus dikeluarkan masyarakat untuk mengenyam bangku pendidikan. Mahalnya biaya pendidikan
dari Taman Kanak-Kanak (TK) hingga Perguruan Tinggi (PT) membuat masyarakat
miskin tidak memiliki pilihan lain kecuali tidak bersekolah. Orang miskin tidak
boleh sekolah.
B. SARAN
§ Semoga
dalam materi pembahasan dalam makalah ini dapat memberikan banyak mamfaat dan
membangun pola pikir kita untuk dapat memperbaharui dan memperbaiki pendidikan
bangsa dan jauh dari sifat egoisme praktik politik korupsi.
DAFTAR
PUSTAKA
good! =D
BalasHapus